Kronologis Wafatnya Alm. Rifqi Yudhistira AP (Sebuah Dwilogi: Dwilogi Pertama)

Assalamualaikum Warohmatullahi Wabarokatuh
Puji syukur kita hadiratkan kepada Allah swt, Shalawat serta salam kita panjatkan ke manusia terhebat di dunia ini, Rasulullah saw.
              
Al-Baqorah: 154. Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu ) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup[100], tetapi kamu tidak menyadarinya.
[100] Yaitu hidup dalam alam yang lain yang bukan alam kita ini, di mana mereka mendapat kenikmatan-kenikmatan di sisi Allah, dan hanya Allah sajalah yang mengetahui bagaimana Keadaan hidup itu.

Sungguh tiada yang menyangka sore itu, Minggu 7 Juni 2009 akan menjadi sore yang membuat kita semua sedih. Seorang manusia yang luar biasa, sosok yang sederhana telah dijemput oleh malaikat Izrail menuju tempat yang Insya Allah lebih indah daripada dunia yang fana ini.

Ba’da ashar seolah tidak akan terjadi apa-apa. Ketika itu saya sedang bersiap-siap kembali ke jogja setelah menjenguk kakek dan nenek di daerah Cawas, Cla-X (baca: Klaten). Cuaca berawan membuat udara tidak terlalu panas dan ideal untuk melakukan suatu perjalanan sepanjang 50 Km dengan menggunakan motor Jupiter MX B6955KKI.

Tiba di jogja tepat ketika adzan magrib berkumandang, mengajak umat Muhammad melaksanakan kewajibannya yang utama. Sontak setelah menaruh tas segera menuju masjid. Tunduk sujud dan bersyukur atas nikmat yang Allah berikan. Setelah sholat, handphone bergetar pertanda ada sms masuk. Dari Hani (Adhani Fajar Sari), isinya : “Assalamualaikum. Ko, berita tentang Eki bener? Innalillahi wa Inna Ilaihi Roji’un”. Deg. Jantung ini berhenti sesaat. Ada musibah apa yang menimpa saudaraku? Segera saya telepon balik Hani.

“Assalamualaikum”

“Walaikumsalam”, jawab suara yang ternyata sedang ada di Bekasi. “Eko, beneran Eki meninggal?”, lanjutnya dengan tergesa-gesa.

Degg. Innalillahi wa Innalillahi Rojiun. Saya terdiam mendengarnya, “Nyang bener lo? Ra gojek lho? Tenanan ki?” (Subtitle: Ga bercanda? Beneran ni?)

“Iya ko, makanya gue nanya lo, lo kan sekontrakan”.

“Ni gue masih di mesjid, gue cek dulu deh ke kontrakan, ntar gue call lagi”.

Segera saya tutup pembicaraan itu dan berlari ke kontrakan. Hanya ada Woki di kontrakan, juga sedang menelepon Hani. Tetapi saya lihat motor Eki terparkir rapi di kontrakan. Saya suruh Woki untuk menanyakan kepada Hani apakah ada nomor yang bisa dihubungi untuk mengkonfirmasi berita yang saya harap hanya salah tafsir belaka. Akhirnya kami diberi nomor hpnya Mas Ridho—entah siapapun itu.

Tanpa ba-bi-bu lagi segera saya hubungi nomor tersebut. Jantung ini berdetak kencang ketika mendengar RBT, menunggu suara yang berharap dapat menepis berita pilu itu.

“Assalamualaikum”, suara laki-laki mengangkat handphone-nya.

“Walaikumsalam. Mas Ridho?”, kataku berusaha menjaga suara setenang mungkin.

“Iya Betul”.

“Ini Eko, Mas. Teman sekontrakannya Eki, apa benar berita yang saya dapat?”, tanyaku dengan cepat sambil terus berusaha agar suaraku terdengar tenang.

“Iya, benar”

Seolah-olah bumi ini berhenti berputar. Udara seolah menghilang dari sekitarku. Tanah tempatku berpijak tampak bergoyang dan turun ke bawah. Innalillahi wa Innailaihirojiun. Woki yang sedari tadi melihatku, tampak mengerti dengan perubahan wajahku dan mengalami ekspresi yang sama. Dia langsung tanggap dan segera menghubungi teman kontrakan lainnya. Akupun tersadar masih terhubung dengan Mas Ridho.

“Sekarang posisi dimana Mas?”

“Di UGD RS Panti Rapih”.

“Ok, kita segera kesana secepatnya”. Telepon kututup dan segera kuhampiri Woki.

“Wok, anak-anak pada kemana sih? Sepi amat”.

“Si Komuk (Aji, red) brangkat kajian tadi pas magrib, Takur ama Jipo kan balik ke Bekasi, Anton lagi Makrab di Parangtritis, ni juga sebenernya gue mau nyusul, si Blay (Dani, red) lagi di Pantai Glagah tapi udah gue kabarin semua dan gue suruh pulang, kecuali si Aji, HPnya ditinggal di kamar”.

“Peleh bener tu orang, temen sekamarnya juga. Ya udah, ntar aja, kita sekarang ke Panti Rapih”.

Dengan kecepatan tinggi mengendarai Jupiter MX ku menuju Panti Rapih. Sambil terus menyuruh woki menghubungi konco-konco Ringroad lainnya untuk segera berkumpul di kontrakan. Maaf kalau ada yang tidak dihubungi karene saat itu sedang panic dan pikiran yang sedang tidak jernih sehingga mungkin ada teman-teman ringroad yang terlewat.
Begitu sampai di Panti Rapih ternyata jenazah Eki sudah di pindahkan ke kamar jenazah. Segera kami mendatangi kamar jenazah dan bergetar ketika melihat papan nama yang ditempelkan di pintu kamar bertuliskan nama Rifqi Yudhistira AP tertera disana.

Keadaan disana begitu ramai, pihak keluarga juga sudah ada yang datang karena memang jarak desa asal orangtua almarhum terletak tidak jauh dari sini, sekitar 30 menit perjalanan. Namun orangtua almarhum ada di Bekasi dan setelah dikabari tentang kondisi buah hatinya mereka langsung memesan tiket pesawat. Namun alangkah malangnya, malam itu seluruh tiket pesawat tujuan Jogjakarta sudah habis terjual, sehingga terpaksa mereka mengendarai mobil mereka dan waktu perjalanan pun semakin panjang.

Seorang lelaki dari pihak keluarga—saya perkirakan ia adalah paman almarhum—mengumpulkan teman-teman Eki yang ada di tempat kejadian perkara untuk meminta penjelasan mengenai kronologis wafatnya almarhum.
Eki sempat pulang ke kontrakan semalam sebelum beliau wafat hanya untuk menyiapkan sebuah acara dan kemudian berangkat lagi. Pada pukul 3.30 minggu pagi, beliau membangunkan Yananto (botak—alumni smansasi 2008, Teknik Mesin UGM) yang sedang tidur di kamar beliau untuk mengantarnya ke Masjid Kampus UGM. Jadi, ia tidak membawa motornya di hari ketika ia wafat.

Temannya yang lain menambahkan bahwa ia sempat tahajud bersama dan sholat isya berjamaah dengan almarhum. Acara—apapun itu—dilaksanakan di masjid Al-Jihad yang terletak di Jalan Kaliurang KM8,5. Pada awalnya beliau yang memimpin diskusi. Ba’da Ashar merupakan sesi kelompok yang presentasi dan beliau mendengarkan presentasi tersebut. Lalu beliau mengeluh bahwa leher sebelah kirinya sakit. Kemudian temannya membaringkan beliau dengan bantal berupa buntelan jaket dan baju koko. Temannya menanyakan apakah sakitnya sudah berkurang atau belum, tapi beliau tidak menjawab. Tiba-tiba dari mulut beliau keluar busa. Sontak beliau di angkat menuju mobil yang sudah disiapkan dan langsung meluncur ke rumah sakit. Darah keluar pertama kali melalui hidung beliau. Teman-temannya yang mengajak bicara juga sia-sia karena tidak dijawab oleh beliau. Dan kemudian beliau menghembuskan napas terakhirnya di perjalanan menuju rumah sakit.

Menurut keterangan dokter, ketika beliau merasakan sakit di lehernya dan tidak menanggapi saat diajak bicara, saat itu beliau sedang merasakan sakit yang luar biasa hebatnya. Dan dokter menyimpulkan bahwa beliau meninggal akibat serangan jantung. Menurut pihak keluarga, simbah beliau memang memiliki penyakit jantung.

Bersambung…
Nantikan kelanjutan kisah pemakaman beliau di dwilogi kedua.
Wassalamua’alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh.
brambravo